Saat ini, perkawinan beda agama sudah
sangat sering terjadi. Bahkan, hal ini dianggap bukan lagi sebagai suatu hal
yang dapat memberatkan pihak-pihak yang melakukan perkawinan beda agama akan
permasalahan atau akibat hukum yang muncul dari perkawinan beda agama tersebut.
Perkawinan beda agama sebelumnya
banyak terjadi di negara-negara Barat, karena menurut hukum perkawinan yang
berlaku di sana, khususnya bagi negara-negara yang menggunakan hukum perdata
seperti Indonesia, telah dinyatakan bahwa undang-undang hanya memandang
perkawinan secara perdata saja dan pengesahan perkawinan sendiri dikatakan
adalah melalui pencatatan sipil, artinya undang-undang memandang perkawinan
hanya dari sudut hubungannya dengan hukum perdata, yang berarti hal ini tidak
dihubungkan dengan atau tidak memperhatikan ketentuan dari hukum agama. Sehingga,
wajar saja jika ada negara dari yang dikategorikan di atas yang tidak melarang
warga negaranya untuk tinggal atau hidup bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan dengan hanya melakukan pencatatan
sipil saja. Bahkan, pada perkembangannya, negara-negara Timur yang terkenal
sebagai negara yang berdasarka hukum agama (seperti negara Islam) sudah tidak
lagi melarang dilangsungkannya perkawinan beda agama, seperti negara Turki,
Mesiar, dan Palestina.
Banyak alasan yang dikemukakan untuk
dapat membenarkan terjadinya perkawinan beda agama yang dianggap tetap sah dan
sama selayaknya perkawinan yang seagama. Hal ini terjadi karena banyaknya
anggapan bahwa menikah adalah hak asasi manusia yang mana hal tersebut tidak
dapat dicampuradukkan dengan seperangkat peraturan yang bernama hukum
sekalipun. Hal itu karena perkawinan sendiri dianggap sebagai anugerah dari
Tuhan untuk dapat dengan bebas memilih pasangan hidup dengan siapapun, keadaan
seperti apapun, dan bagaimanapun keadaanya.
Pada umumnya, orang-orang menyatakan
mengenai perkawinan beda agama, mereka merasa bahwa tidak ada suatu hal apapun
yang dapat melarang atau membatasi seseorang untuk dapat memilih dengan siapa
ia harus menikah. Mereka menganggap perbedaan justru akan memberikan warna yang
berbeda dalam kehidupan mereka kelak dan dapat menjadikan perbedaan tersebut
untuk saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya, peraturan mengenai
perkawinan di Indonesia yang telah diusahakan sejak tahun 1950 yang pada
akhirnya menghasilkan dua macam RUU tentang Perkawinan yang sudah berada
ditangan para anggota DPR RI sejak 1 Agustus 1973 dalam pasal 11 ayat 2 RUU Perkawinan
tersebut berbunyi: “Perbedaan karena kebangsaan suku bangsa, negeri asal, agama/kepercayaan,
dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan”.
Namun, hal ini mendapatkan pertentangan yang begitu besar dari masyarakat,
apalagi mengenai adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perkawinan secara agama
diremehkan dibandingkan dengan perkawinan sipil (negara).
Mengingat peranan yang dimiliki dalam
hidup bersama itu sangat penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, maka
negara membutuhkan tata tertib dan kaidah-kaidah yang mengatur hidup bersama
ini.
Dan peraturan-peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan. Tata
tertib dan dan kaidah-kaidah ini yang kemudian berlaku di Indonesia yang dalam
bentuk konkretnya disebut hukum perkawinan atau istilah lain yang saam
maksudnya yang telah berlaku sejak dahulu sampai sekarang.
Walaupun begitu banyak pihak yang
telah menyetujui dan mendukung pengesahan perkawinan beda agama dari berbagai
kalangan di hampir seluruh dunia, namun bagi negara Indonesia hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan. Kita sebagai bangsa yang telah memproklamirkan
kemerdekaan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tentunya telah menetapkan
bahwa segala jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang akan
berlaku tetaplah berlandaskan Pancasila dengan dasar Ketuhanan, sekalipun
mengenai perkawinan. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang beragama.
Masyarakat Indonesia yang memiliki agama sangatlah mendominasi. Begitu pula
dalam sistem hukum adat di Indonesia sulit untuk dikatakan bahwa hukum
perkawinan adalah masaalh pribadi belaka. Bahkan, dulu yang menentukan apakah
seseorang harus menikah dan dengan siapa ia menikah bukanlah dirinya sendiri,
apalagi bagi seorang wanita.
Saat inipun, tetap tidak dapat
dibenarkan bahwa masalah perkawinan adalah masalah pribadi belaka. Karena,
walaupun pada awalnya penentu untuk menikah atau tidaknya seseorang dan dengan
siapa ia menikah adalah secara individu, tetapi setelah itu peranan masyarakat
dan negara sangatlah besar, sehingga pasangan yang telah berada dala ikatan
perakwinan tidak dapat sesuka hatinya untuk mengakhiri ataun menambah ikatan
perkawinannya denagn orang lain.
Mengenai
perkawinan di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan
No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang ini melalui pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut pasal tersebut tentunya kita
telah mengetahui maksud dari pada pasal tersebut bahwa perkawinan harus
dilangsungkan berdasarkan agama dan bukan semata-mata hubungan yang bersifat
sekuler atau duniawi saja.
Penegasan
kembali mengenai tidak mungkin disahkannya perkawinan beda agama di Indonesia
dapat dilihat pada pasal 2 ayat 1 UU Pokok Perkawinan yang menyatakan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, suatu perkawinan hanya dapat
dilangsungkan apabila kedua calon mempelai memiliki agama yang sama.
Karena
itu, tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah agamnya
memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama, melalui pasal
8 butir f UU Pokok Perkawinan mengenai larangan perkawinan, maka, adapun
pengaturan tentang perkawinan beda agama menurut masing-masing agama yang ada
di Indonesia mengenai perkawinan beda agama dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam
agama Islam, misalnya. Terdapat dua pandangan mengenai perkawinan beda agama.
Dalam Al-quran melalui surat Al-Maidah 5 ayat 5 dimungkinkan untuk
dilangsungkannya perkawinan beda agama apabila pihak lelaki yang beragama
Islam. Sedangkan pada surat Al-Baqarah 2 ayat 221 menyatakan dilarangnya
perkawinan beda agama. Namun, pada keadaan yang terjadi di masyarakat
Indonesia, mayoritas masyarakat muslim mendukung untuk dilarangnya perkawinan
beda agama. Ditambah dengan keluarnya fatwa MUI terkait perkawinan beda agama
dengan pertimbangan dari Al-quran sebagai dalil yang digunakan, dimana wanita
muslim tidak diperkenankan menikah dengan pria non-muslim dan sebaliknya,
laki-laki muslim tidak dapat menikah dengan wanita non-muslim. Hal tersebut
hukumnya adalah haram. Sehingga hal ini semakin mengukuhkan kedudukan UU Pokok
Perkawinan.
Dalam
agama Kristen, perkawinan beda agama secara mutlak dilarang untuk dilakukan
dengan alasan apapun. Hal ini ditegaskan melalui Alkitab (kitab suci orang
Kristen) pada 1 Korintus 6:14-18 dan Ulangan 7:3, Nehemia 13:25 yang menyatakan
pelarangan penyatuan antara orang Kristen dengan non-Kristen dala sebuah ikatan
perkawinan.
Dalam
agama Katolik, pandangannya adalah sama dengan yang ada pada agama Kristen. walaupun
dalam kenyataanya masih ada dispensasi untuk disahkannya perkawinan beda agama
melalui pemberkatan dalam gereja.
Menurut
ajaran agama Buddha, tidaklah dilarang untuk dilangsungkannya perkawinan beda
agama dengan pandangan bahwa setiap agama adaalh baik dan setiap manusia bebas
untuk emmeluk agamanya masing-masing menurut keyakinannya.
Ajaran agama Buddha mempunyai arti yang sama dalam agama Kong Hu Cu yang
membenarkan perkawinan beda agama
Dari
pandangan berbagai agama yang telah disebutkan di atas, sampai saat ini perkawinan
beda agama sekalipun tetap dilangsungkan oleh warga negara Indonesia, mengenai
pengesahannya tetaplah tidak dapat diberlakukan.
Melalui
UU Pokok Perkawinan pememrintah menunjukkan tekad dan perhatiannya mengenai
peraturan perkawinan yang mengatakan bahwa hukum perkawinan tidak bisa lepas
dari ketentuan agama. Dan bukanlah maksud pemerintah untuk mengadakan paksaan
atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Pemerintah jelas tidak
menganjurkan seseorang untuk berbuat sesuatu yang bertolak belakang dengan agama
yang dipeluk oleh seseorang, dan tidak mungkin pemerintah mengajukan RUU yang
bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di
Indonesia. Maka
dari itu, ketentuan-ketentuan dalam UU Pokok Perkawinan harus dibaca dalam
nafas penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi manusia, karena perkawinan
mempunyai hubungan yang lebih dalam dan lebih ajuh dari sekedar hubungan
lahiriah saja, oleh karean itu, nilai-nilai agama dalam perkawinan mutlak
diperlukan.
Sekali
lagi, demi pengukuhan untuk tidak disahkannya perkawinan beda agama dapat kita
lihat dari segi ketaatan kita terhadap agama yang kita anut. Dimana dalam suatu
agama sudah tentu harus ada uatu pembuktian akan keberadaan agama yang kita
anut. Tentu bagi umat beragama yang baik tidak akan melanggar ketentuan agama
yang dipeluknya, sekalipun dari sudut hak asasi manusia perbuatan itu tidak
dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi,Ali.2004.Hukum
Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian.Jakarta:Rineka Cipta.
Malik,Rusdi.Jakarta:Universitas
Trisakti.
Tahir
Hamid,Andi.1996.Peradilan Agama dan Bidangnya.Jakarta:Sinar Grafika.
Soemin,Soedharyo.2002.Hukum
Orang dan Keluarga.Jakarta:Sinar Grafika.
Meliala,Djaja
S.2006.Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
keluarga.Bandung:Nuansa Aulia.
Kamelo,Tan.2011.Hukum
Orang dan Keluarga.Medan:USU Press.