Selasa, 13 Maret 2012

Perkawinan Beda Agama


          Saat ini, perkawinan beda agama sudah sangat sering terjadi. Bahkan, hal ini dianggap bukan lagi sebagai suatu hal yang dapat memberatkan pihak-pihak yang melakukan perkawinan beda agama akan permasalahan atau akibat hukum yang muncul dari perkawinan beda agama tersebut.
          Perkawinan beda agama sebelumnya banyak terjadi di negara-negara Barat, karena menurut hukum perkawinan yang berlaku di sana, khususnya bagi negara-negara yang menggunakan hukum perdata seperti Indonesia, telah dinyatakan bahwa undang-undang hanya memandang perkawinan secara perdata saja dan pengesahan perkawinan sendiri dikatakan adalah melalui pencatatan sipil, artinya undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut hubungannya dengan hukum perdata, yang berarti hal ini tidak dihubungkan dengan atau tidak memperhatikan ketentuan dari hukum agama. Sehingga, wajar saja jika ada negara dari yang dikategorikan di atas yang tidak melarang warga negaranya untuk tinggal atau hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan dengan hanya melakukan pencatatan sipil saja. Bahkan, pada perkembangannya, negara-negara Timur yang terkenal sebagai negara yang berdasarka hukum agama (seperti negara Islam) sudah tidak lagi melarang dilangsungkannya perkawinan beda agama, seperti negara Turki, Mesiar, dan Palestina.
          Banyak alasan yang dikemukakan untuk dapat membenarkan terjadinya perkawinan beda agama yang dianggap tetap sah dan sama selayaknya perkawinan yang seagama. Hal ini terjadi karena banyaknya anggapan bahwa menikah adalah hak asasi manusia yang mana hal tersebut tidak dapat dicampuradukkan dengan seperangkat peraturan yang bernama hukum sekalipun. Hal itu karena perkawinan sendiri dianggap sebagai anugerah dari Tuhan untuk dapat dengan bebas memilih pasangan hidup dengan siapapun, keadaan seperti apapun, dan bagaimanapun keadaanya.
          Pada umumnya, orang-orang menyatakan mengenai perkawinan beda agama, mereka merasa bahwa tidak ada suatu hal apapun yang dapat melarang atau membatasi seseorang untuk dapat memilih dengan siapa ia harus menikah. Mereka menganggap perbedaan justru akan memberikan warna yang berbeda dalam kehidupan mereka kelak dan dapat menjadikan perbedaan tersebut untuk saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya.
          Sebenarnya, peraturan mengenai perkawinan di Indonesia yang telah diusahakan sejak tahun 1950 yang pada akhirnya menghasilkan dua macam RUU tentang Perkawinan yang sudah berada ditangan para anggota DPR RI sejak 1 Agustus 1973 dalam pasal 11 ayat 2 RUU Perkawinan tersebut berbunyi: “Perbedaan karena kebangsaan suku bangsa, negeri asal, agama/kepercayaan, dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan”.[1] Namun, hal ini mendapatkan pertentangan yang begitu besar dari masyarakat, apalagi mengenai adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perkawinan secara agama diremehkan dibandingkan dengan perkawinan sipil (negara).
          Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidah-kaidah yang mengatur hidup bersama ini.[2] Dan peraturan-peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan. Tata tertib dan dan kaidah-kaidah ini yang kemudian berlaku di Indonesia yang dalam bentuk konkretnya disebut hukum perkawinan atau istilah lain yang saam maksudnya yang telah berlaku sejak dahulu sampai sekarang.
          Walaupun begitu banyak pihak yang telah menyetujui dan mendukung pengesahan perkawinan beda agama dari berbagai kalangan di hampir seluruh dunia, namun bagi negara Indonesia hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Kita sebagai bangsa yang telah memproklamirkan kemerdekaan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tentunya telah menetapkan bahwa segala jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang akan berlaku tetaplah berlandaskan Pancasila dengan dasar Ketuhanan, sekalipun mengenai perkawinan. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang beragama. Masyarakat Indonesia yang memiliki agama sangatlah mendominasi. Begitu pula dalam sistem hukum adat di Indonesia sulit untuk dikatakan bahwa hukum perkawinan adalah masaalh pribadi belaka. Bahkan, dulu yang menentukan apakah seseorang harus menikah dan dengan siapa ia menikah bukanlah dirinya sendiri, apalagi bagi seorang wanita.
          Saat inipun, tetap tidak dapat dibenarkan bahwa masalah perkawinan adalah masalah pribadi belaka. Karena, walaupun pada awalnya penentu untuk menikah atau tidaknya seseorang dan dengan siapa ia menikah adalah secara individu, tetapi setelah itu peranan masyarakat dan negara sangatlah besar, sehingga pasangan yang telah berada dala ikatan perakwinan tidak dapat sesuka hatinya untuk mengakhiri ataun menambah ikatan perkawinannya denagn orang lain.
Mengenai perkawinan di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang ini melalui pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut pasal tersebut tentunya kita telah mengetahui maksud dari pada pasal tersebut bahwa perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan agama dan bukan semata-mata hubungan yang bersifat sekuler atau duniawi saja.
Penegasan kembali mengenai tidak mungkin disahkannya perkawinan beda agama di Indonesia dapat dilihat pada pasal 2 ayat 1 UU Pokok Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, suatu perkawinan hanya dapat dilangsungkan apabila kedua calon mempelai memiliki agama yang sama.
Karena itu, tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah agamnya memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama, melalui pasal 8 butir f UU Pokok Perkawinan mengenai larangan perkawinan, maka, adapun pengaturan tentang perkawinan beda agama menurut masing-masing agama yang ada di Indonesia mengenai perkawinan beda agama dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam agama Islam, misalnya. Terdapat dua pandangan mengenai perkawinan beda agama. Dalam Al-quran melalui surat Al-Maidah 5 ayat 5 dimungkinkan untuk dilangsungkannya perkawinan beda agama apabila pihak lelaki yang beragama Islam. Sedangkan pada surat Al-Baqarah 2 ayat 221 menyatakan dilarangnya perkawinan beda agama. Namun, pada keadaan yang terjadi di masyarakat Indonesia, mayoritas masyarakat muslim mendukung untuk dilarangnya perkawinan beda agama. Ditambah dengan keluarnya fatwa MUI terkait perkawinan beda agama dengan pertimbangan dari Al-quran sebagai dalil yang digunakan, dimana wanita muslim tidak diperkenankan menikah dengan pria non-muslim dan sebaliknya, laki-laki muslim tidak dapat menikah dengan wanita non-muslim. Hal tersebut hukumnya adalah haram. Sehingga hal ini semakin mengukuhkan kedudukan UU Pokok Perkawinan.
Dalam agama Kristen, perkawinan beda agama secara mutlak dilarang untuk dilakukan dengan alasan apapun. Hal ini ditegaskan melalui Alkitab (kitab suci orang Kristen) pada 1 Korintus 6:14-18 dan Ulangan 7:3, Nehemia 13:25 yang menyatakan pelarangan penyatuan antara orang Kristen dengan non-Kristen dala sebuah ikatan perkawinan.
Dalam agama Katolik, pandangannya adalah sama dengan yang ada pada agama Kristen. walaupun dalam kenyataanya masih ada dispensasi untuk disahkannya perkawinan beda agama melalui pemberkatan dalam gereja.
Menurut ajaran agama Buddha, tidaklah dilarang untuk dilangsungkannya perkawinan beda agama dengan pandangan bahwa setiap agama adaalh baik dan setiap manusia bebas untuk emmeluk agamanya masing-masing menurut keyakinannya.[3] Ajaran agama Buddha mempunyai arti yang sama dalam agama Kong Hu Cu yang membenarkan perkawinan beda agama
Dari pandangan berbagai agama yang telah disebutkan di atas, sampai saat ini perkawinan beda agama sekalipun tetap dilangsungkan oleh warga negara Indonesia, mengenai pengesahannya tetaplah tidak dapat diberlakukan.
Melalui UU Pokok Perkawinan pememrintah menunjukkan tekad dan perhatiannya mengenai peraturan perkawinan yang mengatakan bahwa hukum perkawinan tidak bisa lepas dari ketentuan agama. Dan bukanlah maksud pemerintah untuk mengadakan paksaan atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Pemerintah jelas tidak menganjurkan seseorang untuk berbuat sesuatu yang bertolak belakang dengan agama yang dipeluk oleh seseorang, dan tidak mungkin pemerintah mengajukan RUU yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di Indonesia.[4] Maka dari itu, ketentuan-ketentuan dalam UU Pokok Perkawinan harus dibaca dalam nafas penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi manusia, karena perkawinan mempunyai hubungan yang lebih dalam dan lebih ajuh dari sekedar hubungan lahiriah saja, oleh karean itu, nilai-nilai agama dalam perkawinan mutlak diperlukan.
Sekali lagi, demi pengukuhan untuk tidak disahkannya perkawinan beda agama dapat kita lihat dari segi ketaatan kita terhadap agama yang kita anut. Dimana dalam suatu agama sudah tentu harus ada uatu pembuktian akan keberadaan agama yang kita anut. Tentu bagi umat beragama yang baik tidak akan melanggar ketentuan agama yang dipeluknya, sekalipun dari sudut hak asasi manusia perbuatan itu tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

















DAFTAR PUSTAKA
Afandi,Ali.2004.Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian.Jakarta:Rineka Cipta.
Malik,Rusdi.Jakarta:Universitas Trisakti.
Tahir Hamid,Andi.1996.Peradilan Agama dan Bidangnya.Jakarta:Sinar Grafika.
Soemin,Soedharyo.2002.Hukum Orang dan Keluarga.Jakarta:Sinar Grafika.
Meliala,Djaja S.2006.Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum keluarga.Bandung:Nuansa Aulia.
Kamelo,Tan.2011.Hukum Orang dan Keluarga.Medan:USU Press.


[1] Rusdi Malik.Memahami Undang-undang Perkawinan.Hlm.18
[2] Soedharyo Soimin.Hukum Orang dan Keluarga.Hlm.3
[3] Djaja S Meliala.Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga.Hlm104
[4] Rusdi Malik.Memahami Undang-undang Perkawinan.Hlm.21













































Tidak ada komentar:

Posting Komentar