Bagi mereka yang termasuk ke dalam golongan penduduk
keturunan Cina, berlaku peraturan adopsi yang diatur dalam Staatsblad 1917 No.
129 yang memungkinkan dilakukannya adopsi anak laki-laki Akan tetapi, berdasarkan
jurisprudensi tetap tahun 1963, Mahkamah Agung menganggap sah pula adopsi anak
perempuan. Adopsi menurut ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 ini cukup dilakukan
hanya dengan akte notaris saja.
anak dengan mekanisme surat edaran Mahkamah Agung meliputi :
·
Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia (domestic
adoption)
·
Adopsi anak Indonesia oleh orang tua angkat
berkewarganegaraan asing (intercountry adoption)
·
Adopsi anak berkewarganeraan asing oleh warga negara
Indonesia (intercountry adoption)
Staatblaad
ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain
memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi
yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang
suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak
menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan
anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya
dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat
anak perempuan.
Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur
dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 5 s.d 15 antara lain:
a.
Suami istri atau
duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik
keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian
diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya;
b.
Seorang janda
(cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas
suaminya dengan suatu wasiyat; (Pasal 5 )
c.
Yang boleh
diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak
dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain. (Pasal 6)
d.
Usia yang
diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari
istri; (Pasal 7 ayat 1)
e.
Adopsi harus
dilakukan atas kata sepakat;
f.
Pengangkatan anak
harus dilakukan dengan akta notaris; (Pasal 10)
g.
Pengangkatan
terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik
batal demi hukum ( Pasal 15 ayat 2 ). Di samping itu, adopsi atas tuntutan oleh
pihak yang berkepentingan.
h.
Suatu adopsi
tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak (pasal 15 ayat 1).
Pasal tersebut merupakan
penyimpangan dari ketentuan pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata (BW) yang menyatakan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat
para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i.
Secara yuridis formal, motif tidak ada
ketentuannya. Akan tetapi, secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem
adat Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur,
dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki.
j.
Akibat hukum pengangkatan anak tersebut, antara
lain:
1)
Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut
berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya.
Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat
(adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum
suaminya.
2)
Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam
hal:
a) Penderajatan kekeluargaan sedarah
dan semenda dalam bidang perkawinan;
b)
Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
c)
Mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan;
d) Mengenai pembuktian dengan saksi;
e) Mengenai saksi alam pembuatan
bukti autentik;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar