Jumat, 12 Oktober 2012

peraturan-peraturan perlindungan anak internasional


•  Piagam Afrika tentang Hak-hak dan Kesejahteraan  Anak, Organisasi  Persatuan Afrika yang sekarang disebut Uni Afrika (The African Charter on the Rights and Welfare of the Child of  the Organisation for African Unity ) tahun 1993.
•  Konvensi-konvensi Jenewa mengenai Hukum Humaniter Internasional  (1949) dan Protokol Tambahannya (1977)
•  Konvensi  Buruh  Internasional  No.  138  (1973),  yang  menyatakan  bahwa,  secara  umum, seseorang yang berusia  di bawah  18 tahun, tidak  boleh dipekerjakan dalam  bidang-bidang pekerjaan  yang  berbahaya  bagi  kesehatan  dan  perkembangan  mereka,  dan  Konvensi Organisasi Buruh  Internasional No. 182  (1999) mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak.
•  Protokol  bagi  Konvensi  Perserikatan  Bangsa-bangsa  tentang  Kejahatan  Transnasional Terorganisasi untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-anak.

Prosedur Penerimaan Perkara Pidana Biasa



A.                MEJA PERTAMA
1.      Menerima berkas perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Terhadap perkara yang terdakwanya ditahan dan masa tahanan hampir berakhir, petugas segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan.
2.      Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang¬-barang bukti yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara maupun yang kemudian diajukan ke depan persidangan. Barang-barang bukti tersebut didaftarkan dalam register barang bukti.
3.      Bagian penerimaan perkara memeriksa kelengkapan berkas. Kelengkapan dan kekurangan berkas dimaksud diberitahukan kepada Panitera Muda Pidana.
4.      Dalam hal berkas perkara dimaksud belum lengkap, Panitera Muda Pidana meminta kepada Kejaksaan untuk melengkapi berkas dimaksud sebelum diregister.
5.      Pendaftaran perkara pidana biasa dalam register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut.
6.      Pendaftaran perkara pidana singkat, dilakukan setelah Hakim melaksanakan sidang pertama.
7.      Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilakukan setelah perkara itu diputus oleh pengadilan.
8.      Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait, semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara dan pelaksanaan putusan ke dalam register induk yang bersangkutan.
9.      Pelaksanaan tugas pada Meja Pertama, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.
B.                 MEJA KEDUA
1.      Menerima pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan grasi/ remisi.
2.      Menerima dan memberikan tanda terima atas:
a.                   Memori banding;
b.                  Kontra memori banding;
c.                   Memori kasasi;
d.                  Kontra memori kasasi;
e.                   Alasan peninjauan kembali;
f.                   Jawaban/tanggapan peninjauan kembali;
g.                  Permohonan grasi/remisi;
h.                  Penangguhan pelaksanaan putusan.

beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis



a. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian hukum, maka hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat;
b. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak;
c. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris;
d. Peralihan hak atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor;
e. Penyelesaian perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum;
f. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.

contoh lasus Renvoi


- Kasus in re Annesley (Davidson v. Annesley tahun 1926)
Annesley seorang wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di Perancis tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis. Tahun 1919, wanita ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya, sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya. Di Inggris ini dibolehkan. Sedang di Perancis dikenal legitima portio bahwa sang anak sekurang-kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan.
Lantas hukum yang mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau Perancis? Menurut hukum bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut. Oleh karena itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga negara asing adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris menunjuk kembali kepada hukum Perancis yaitu hukum domisili.
Lalu setelah Perancis menerima renvoi ini, apakah kemudian hukum intern Perancis yang akan digunakan? Hakim lalu menyelidiki HPI Perancis soal renvoi. Dan kemudian menurut hakim ini, kasus tersebut akan memakai hukum intern Perancis. Oleh karena itu, hakim Russel yang mengadili perkara juga menggunakan hukum intern Perancis. Berdasarkan itu, maka wewenang dari Annesley untuk membuat surat wasiat harus dibatasi.

- Kasus in re Ross (Ross v. Waterfield)
Janet Anne Ross, wanita berkewarganegaraan Inggris. Meninggal di Italia tahun 1927. Ketika ia meninggal, maka diketahui menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Italia. Ia telah hidup di Florence sejak tahun 1888, yakni tahun dimana ia membeli sebuah rumah besar nan mewah yang terkenal dengan nama Poggio Gherardi. Tahun 1902, suaminya meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kesangsian bahwa keduanya meninggal dengan domisili di Italia. Sewaktu Janet meninggal di tahun 1927, barulah surat wasiatnya dipersoalkan. Dalam semua wasiatnya, harta kekayaannya jatuh kepada tergugat Caroline Lucy Isabel Waterfield, sedangkan kepada anak laki-lakinya tidak diwariskan apa-apa.
Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak atas ½ benda tak bergerak di Italia dan ½ benda tidak bergerak yang berada di wilayah manapun. Dalam hukum Italia juga dikenal legitima portio. Sedang Inggris tidak. Tetapi yang jadi soal adalah hukum mana yang akan diberlakukan.
Luxmoore J. yang mengadili perkara ini menimbang bahwa kasus ini harus diadili sebagaimana masalah ini diselesaikan oleh badan-badan peradilan di Italia. Jika menunjuk kepada hukum di Italia. Maka itu akan termasuk di dalam hukum intern serta kaidah HPI yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Italia. Sehingga surat wasiat tetap dianggap sah. Karena kenyataannya, menurut doktrin hukum di Italia, renvoi tidak diterima. Maka pada kasus ini, kenyataannya gugatan penggugat tidak berhasil dengan kata lain penggugat tetap tidak mendapatkan apa-apa.
                                                                

Akibat hukum pengangkatan anak



Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
b. Waris                       
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
· Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
· Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)